17 January 2011

HASAN, PEMILIK BIDADARI SURGA

Kemudian aku sampai di depan rumah sahabat lama ku itu. Aku ucapkan salam dan ku ketok pintunya dengan bermaksud orang di dalamnya mengetahui kalau ada tamu yang menanti di depan rumahnya. "Assalamualaikum" salam ku ucapakan. "Walaikumsalam" terdengar suara lelaki dari dalam rumah yang tak asing lagi bagiku. Beberapa saat kemudian pintu pun dibuka dan alangkah kaget dan senangnya raut wajah yang tampak dari wajah temanku ini yang begitu bersihnya. Begitupun juga dengan aku, sungguh merasa senang sekali melihat sahabatku yang 7 tahun tidak pernah berjumpa setelah kami berdua dinyatakan lulus dari kampus kami mengemban ilmu. Dialah Hasan yang selalu terpancar senyum dari wajahnya. Orang pertama yang aku kenal ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus dulu. Dan sejak itu kami memulai persahabatan kami. Hal yang paling aku suka bersahabat dengannya adalah karena dia adalah seorang yang sangat taat beragama yang tak bosan-bosannya selalu mengajarkan aku ilmu-ilmu baru tentang agama serta mengingatkan aku ketika aku lalai. Sejak dia lulus SMA dia sudah menghafal 20 juz Al Quran dan pada tahun kedua kuliah dia menghatamkan hafalannya hingga 30 juz. Berbeda dengan aku saat itu 1 juz 30 sekalipun aku tidak menghafalnya. Alhamdulillah berkat dukungan dan bimbingannya kini aku sudah bisa menghafal 30 juz sperti dirinya.
"Subhanalloh, sahabatku wahai Firman, sibuk apa kamu sekarang? Sudah lama kita tidak saling memberi kabar sejak kamu melanjutkan studi kamu ke Mesir disana.", tanya hasan dengan antusiasnya.
"Alhamdulillah saya sekarang menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya, setelah selesai studi saya langsung kembali ke kota kelahiran saya dan menularkan ilmu yang saya dapat ke para penerus pejuang agama ALLOH."
"Alhamdulillah sungguh mulia usahamu, semoga selalu dalam pertolongan ALLOH"
"Aamiin", jawabku.
"Astaghfirulloh, aku lupa menyilahkan kamu masuk dan duduk.", saking senangnya melepas rasa rindu seorang sahabat yang sudah lama tak bertemu membuat Hasan lupa untuk mempersilahkan aku masuk kedalam rumahnya.
"Ayo silahkan duduk!", Hasan pun mempersilhakan aku duduk di sebuah ruang tamu yang sederhana berhiaskan pigura dengan kaligrafi ayat Kursi di dindingnya.
"Ya seperti inilah rumah seorang ustadz di kampung." Sejak dahulu Hasan tidak pernah berubah, selalu tampil dengan sederhana tak pernah menunjukkan sesuatu yang materi yang membuat orang lain iri. Padahal belakangan aku tahu bahwa Hasan ini adalah anak seorang Kyai pemilik pesantren besar yang cukup ternama di kota asalnya. Namun begitulah Hasan selalu tampil apa adanya. Mungkin yang membuat orang lain iri dan termasuk aku juga adalah kemurahan senyumnya, ilmu agamanya, serta kepeduliannya terhadap orang lain yang tak pernah kutemui di dalam diri selain Hasan.
"Ummi, tolong buatkan minum untuk tamu abi!", suruh Hasan terhadap seorang perempuan yang ada di dalam rumah.
"Iya abi." terdengar suara balasan yang begitu indah dari dalam rumah.
Sambil menunggu minum yang disuguhkan kami pun saling mengobrol mengingat masa lalu serta menceritakan kehidupan kami masing-masing saat ini. Dari obrolan ini pun aku tahu bahwa saat ini Hasan adalah pemilik sekaligus pengajar madrasah yang ada di kampun ini. Dan yang membuat aku sekali lagi bangga dan iri dengannya adalah setiap santri yang mengeyam pendidikan di madrasah yang dia dirikan tidak dipungut biaya sepeserpun.
“Ini abi”, datang seorang perempuan
dari ruang keluarga dengan balutan jilbab dan kerudung yang menutupi seluruh auratnya dengan rapat.
“Terima kasih ummi.”, Hasan pun membantu menurunkan dua gelas teh hangat dan satu toples camilan dari tampan ke atas meja.
“Ummi, ini Firman sahabat abi waktu kuliah dulu.”, Hasan memperkenalkan aku kepada istrinya.
“Firman, ini istriku Aisyah”, dia juga memperkenalkan istrinya kepadaku.
Sungguh beruntung Hasan mendapatkan istri secantik bidadari ini. Senyum juga terpancar dari wajahnya menambah kecantikan dirinya.
“Abi, bolehkah ummi mengantarkan camilan yang ummi buat tadi ke rumah ibu?”, tanya nya dengan sopan.
“Tunggu dulu ummi, masih ada tamu!”, jawab Hasan dengan halus.
“Iya abi.”, balas istrinya dan masuk kembali kedalam rumah.
Kemudian aku tahu bahwa istrinya adalah santri di pesantren abinya yang pada tahun akhir dia belajar di pesantren itu Hasan baru saja lulus dan juga mengajar di pesantren abinya sebagai permulaan. Setahun Hasan mengajar di pesantren itu yang juga bertepatan dengan kelulusan Aisyah kemudian Hasan menghkitbah dan menikahi dirinya dan pindah ke kampung Aisyah berasal bersama Hasan dan menempati rumah yang saat ini dia tempati.
Setelah cukup lama kami berbincang-bincang akupun berpamitan ke Hasan untuk kembali ke Surabaya dan tak lupa aku mengasihkan sedikit oleh-oleh untuknya. Kemudian Hasan memanggil istrinya.
“Ummi ini tamu kita mau pulang.”, panggilnya dan istrinya datang dari dalam rumah.
“Ini ada oleh-oleh dari Firman, sebagian kamu ambil untuk kita dan sebagian lagi kami kasihkan untuk ibu kamu dan sekalian kamu bawa bersama makanan yang ingin kamu antarkan tadi.”, Hasan menyerahkan oleh-oleh yang aku bawakan kepada istrinya dan kemudian dia bawa ke dalam rumah. Tak lama istrinya keluar membawa satu ranang makanan dan sebagian oleh-oleh yang aku bawa tadi.
“Abi, bolehkah ummi mengantarkan makanan dan oleh-oleh ini ke rumah ibu sekarang?”, sekali lagi dia meminta izin Hasan untuk mengantarkan ke rumah ibunya.
“Silahkan ummi, nanti abi menyusul ke rumah ibu.”
“Iya abi. Assalamulaikum.”
“Waalaikumsalam.”, jawabku dan Hasan bersamaan.
Kemudian Aisyah pergi menuju rumah ibunya dan sungguh yang membuat aku kaget saat itu adalah rumah ibunya persis berada di depan rumah Hasan yang jaraknya tak kurang dari enam meter. Sejenak aku kaget melihat pemandangan yang baru saja terjadi di depan mataku itu. Kemudian aku pamit untuk pergi kepada Hasan.
“Senang sekali saya bisa bertemu denganmu hari ini. Mudah-mudahan ALLOH menjaga silaturahmi kita.”, ujarku pada Hasan.
“Begitu juga dengan saya. Benar-benar pertemuan sebagai pelepas rindu antara kita. Tapi saya minta maaf tidak bisa membawakan kamu apa-apa”
“Janganlah begitu. Saya bisa bertemu denganmu saja sudah lebih dari cukup. Baiklah, mungkin saya harus segera pergi agar tidak ketinggalan kereta.”
“Baiklah. Sampaikan salam saya untuk kedua orang tuamu.”
“Ya, insyaALLOH saya sampaikan. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”, jawab Hasan dan kemudian aku pergi meninggalkan rumah Hasan.
Selama perjalanan di kereta aku masih terkagum-kagum dengan pemandangan yang terjadi ketika Aisyah mengantarkan makanan untuk ibunya yang merupakan suatu bentuk ketulusan dan kepatuhan Aisyah kepada Hasan suaminya. Padahal rumah ibunya berjarak tak kurang enam meter dari rumahnya. Namun dia masih meminta ijin kepada Hasan untuk pergi ke rumah ibunya dan dengan ikhlas dia menerima dan mematuhi ketika suaminya melarangnya. Mungkin bagi istri lain selain Aisyah hal seperti tidak akan dilakukannya. Apalagi izin untuk ke rumah ibunya yang jaraknya sangat, pergi ke pasar, arisan, atau tempat lain pun tidak akan pernah meminta ijin dari suaminya. Sungguh Aisyah wanita yang membuat BIDADARI SURGA IRI PADANYA. (sby.00:29.180111)


No comments:

Post a Comment