23 June 2011

Melankolis dan Melow, Keduanya Berbeda!

Hari ini saya membaca koran yang tidak bisa saya sebutkan koran apa itu, yang sedang mengulas informasi seputar “cowok melankolis“. Dalam awal pembahasannya, saya lihat penulis dari koran itu sepertinya memahami apa yang dimaksud dengan Sanguis, Melakolis, Koleris dan Plagmatis. Dan dalam penjelasan seputar keempat sifat tersebut, sudah sangat cocok dengan apa yang saya pahami sekarang ini. Namun saya menjadi terkejut setelah membaca tulisan-tulisan selanjutnya perihal komentar dari para korespondensi yang mengomentari karakter cowok melankolis.
Komentar-komentar tersebut menurut saya sama sekali tidak pas dengan istilah COWOK MELANKOLIS. Anehnya, masih juga dipublikasikan oleh pihak koran. Saya jadi curiga, apakah mereka [editor koran tersebut] memahami arti dari melankolis ataukah tidak? Mempublikasikan komentar yang tidak sesuai dengan tema bukankah akan meyebabkan istilah “melankolis” menjadi rancu?
Dari tulisan yang saya baca, isi cerita dari koran tersebut dominan ke arah merendahkan sifat “melankolis”, menceritakan kekurangannya tanpa memberitahukan kebaikan dan kelebihannya. Bahkan salah satu korespondensi bertutur, “Melankolis, Gak Bangeet..!“, dengan kata-kata seolah dia memahami apa itu arti melankolis, padahal ilmunya seputar “melankolis” NOL BESAR.
Kemudian mereka para korespondensi juga berkata bahwa cowok melankolis identik dengan: pemimpi, jadul, lemah jiwanya, lembek, cengeng, sifatnya kayak cewe dan yang lebih extreem lagi ada yang bilang metroseksual [hei para cowo melankolis, setuju tidak dengan pendapat tersebut?]. Padahal sebenarnya itu bukanlah istilah dari cowo melankolis. Kalau cowo melow sih mungkin iya, namun dalam tanda kutip, “supeeer melow and extreem melow“.
Bukannya saya sok tahu, namun kecewa saja dengan ulasan yang ada dihalaman koran tersebut. Karena tulisan tersebut sangat merendahkan kepribadian melankolis. Mereka yang dangkal ilmunya diwawancarai dan hasil wawancara begitu mudahnya dipublikasikan tanpa adanya proses editing. Namun anehnya, mereka sama sekali tidak mewawancarai cowo yang memiliki sifat melankolis, bukankah tema utama dari koran tersebut adalah cowok melankolis? Apakah saat ini kita berada di zaman dimana “artis lebih dipercaya ketimbang para ilmuwan“? Enggak khan..
Dulu, pertama kali saya mengenal kata melankolis, saya juga mengira bahwa “melankolis” adalah “melow“. Namun kenyataannya itu sama sekali tidaklah benar. Melankolis adalah sebuah “kata yang bertajuk sebagai sifat” dimana bisa digabungkan dengan kata sifat, contoh “sifat cowo itu melankolis“. Sedangkan melow adalah “kata yang bertajuk sebagai kata kerja” dan sama sekali tidak dapat disatukan dengan kata sifat, contoh : “sifat cowo itu melow“, gak nyambung coy. Kata melow justru lebih cocok jika digabungkan dengan kata-kata yang berkonotasi pekerjaan, contoh : “dikit-dikit melow, dikit-dikit melow, ada film sedih melow, wah.. gak keren lu. Lupain masa lalu dunk, hiduplah dengan harapan baru“. Gimana, pas khan?
Lantas bagaimana cara memahami dengan benar pengertian melankolis? Wah, kalau membahas seputar itu nantinya tulisan saya ini akan menjadi super puanjang, alangkah baiknya jika saya berikan tautan artikel. Dan supaya lebih mudahnya memahami, baca artikel berikut :

20 June 2011

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGANAN BANJIR DI KABUPATEN SAMPANG DENGAN METODE HUBUNGAN STATE-PRESSURE-RESPONSE.

PENDAHULUAN
Kali Kemuning yang mengalir melintasi daerah perkotaan Sampang seringkali menjadi bencana bagi masyarakat ketika musim hujan tiba. Bencana yang terjadi adalah bencana banjir dimana setiap tahun selalu terjadi banjir walaupun tidak terlalu besar namun cukup mengganggu aktivitas masyarakat. Tercatat pada tahun 2011 terjadi dua kali banjir yang cukup besar yaitu pada 3 Januari dan 4 Mei (www.antaranews.com).
Secara topografi Kabupaten Sampang terdiri atas bentangan perbukitan, ketinggian tempat antara 0-300 m dpl dan kemiringan lereng rata-rata antara 2 – 25 %. Topografi seperti ini sangat mendukung terjadinya proses erosi tanah yang pada intinya membawa sedimensedimen dari bagian atas yang pada akhirnya sedimentasi tersebut diendapkan di aliran-aliran sungai dan menyebabkan pendangkalan sungai sehingga daya tampung sungai akan air hujan yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya banjir.
Terjadinya banjir di Kabupaten Sampang, disamping karena topografi juga karena keadaan lingkungan alam yang tidak mendukung proses siklus hidrologi atau proses perputaran air di permukaan bumi. Masing-masing factor saling terkait dan mendukung terjadinya banjir. Hutan yang kebanyakan sudah ditebang tanpa tebang pilih, pencurian kayu hutan akan menyebabkan terjadinya hutan gundul yang berkibat pada terjadinya lahan kritis dan percepatan erosi (BLH Kab. Sampang).
Melihat kondisi ini, Pemerintah Kabupaten Sampang melakukan beberapa kebijakan untuk menanggulangi permasalahan banjir yang terjadi. Oleh karena itu, untuk mengetahui keberhasilan kebijakan yang dilakukan maka perlu dilakukannya evaluasi terhadap kebijakan tersebut.

METODE EVALUASI
Evaluasi yang dilakukan adalah untuk melihat keberhasilan kebijakan pemerintah untuk menanggulangi masalah banjir sehingga evaluasi yang digunakan bersifat ex-post evaluation.
Tahapan yang dilakukan dalam evaluasi ini adalah memlihat state-pressure-respon terhadap banjir yang terjadi di Kabupaten Sampang serta melihat dampak yang terjadi setelah pelaksanaan kebijakan sehingga diperoleh penilaian terhadap keberhasilan kebijakan tersebut.

State-Pressure-Respon
Model State-Pressure-Respon (STR) pada awalnya dikembangkan oleh OECD dalam merumuskan laporan dan kebijakan-kebijakan lingkungan. Model ini mempertimbangkan bahwa kegiatan-kegiatan manusia memberikan Tekanan (Pressure) terhadap lingkungan dan mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam (State); kemudian masyarakat atau pemerintah merespon perubahan-perubahan yang terjadi melalui kebijakan-kebijakan lingkungan, ekonomi dan sektoral dan melalui perubahan kesadaran dan perilaku (response)
Model Status-Tekanan-Respon (SPR) menyoroti hubungan sebab-akibat dari aspek-aspek tersebut, dan membantu para pembuat keputusan serta masyarakat memahami bahwa isu lingkungan, ekonomi dan lainnya saling terkait. Model ini menyediakan cara memilih dan mengorganisasikan indikator-indikator (atau status dari laporan lingkungan) yang bermanfaat bagi pembuat keputusan dan masyarakat, dan untuk memastikan bahwa tidak ada hal penting yang terlewatkan.

·         Pressure
Tekanan lingkungan menggambarkan tekanan dari kegiatan-kegiatan manusia terhadap lingkungan, termasuk sumberdaya alam. Dalam hal ini “tekanan” mencakup tekanan-tekanan tidak langsung (misalnya: pertumbuhan penduduk atau kebijakan pemerintah tentang pembukaan lahan pertanian) dan tekanan-tekanan langsung (misalnya: pemanfaatan sumberdaya atau pembuangan limbah dan polutan). Indikator-indikator tekanan lingklungan terkait erat dengan pola konsumsi dan produksi yang seringkali merefleksikan intensitas penggunaan sumberdaya dan emisi yang disertai dengan kecenderungan-kecenderungan/tren yang berkaitan dan perubahan-perubahan pada suatu periode tertentu. Indikator-indikator itu dapat digunakan untuk memperlihatkan perkembangan dalam menggabungkan kegiatan ekonomi dari tekanan lingkungan yang terkait, atau dalam pencapaian tujuan nasional dan komitmen internasional (misalnya target pengurangan emisi)
·         State
Kondisi-kondisi lingkungan berkaitan dengan kualitas lingkungan serta kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Mereka mencerminkan tujuan akhir dari kebijakan lingkungan. Indikator-indikator kualitas lingkungan dirancang untuk memberikan tinjauan status lingkungan dan perkembangannya sepanjang waktu. Contoh-contoh dari indikator lingkungan adalah: konsentrasi polutan dalam media lingkungan, kualitas lingkungan yang terdegradasi dan akibatnya terhadap kesehatan, status satwa liar dan ekosistem atau cadangan sumberdaya alam. Dalam praktiknya, pengukuran kondisi lingkungan seringkali tidak mudah dan mahal. Oleh karena itu, tekanan lingkungan seringkali menjadi pilihan, tetapi bukan merupakan substitusi. 
·         Response
Respon kemasyarakatan menunjukkan seberapa besar respon masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha terhadap masalah lingkungan. Ini mengacu pada aksi dan reaksi yang dilakukan secara perorangan dan bersama, yang ditujukan untuk:
-          memitigasi, mengadaptasi atau mencegah pengaruh negatif manusia terhadap lingkungan;
-          mencegah atau memulihkan kerusakan lingkungan yang telah terjadi
-          melindungi (preserve) dan mengkonservasi alam dan sumberdaya alam.
 
MODEL STATUS-TEKANAN-RESPON (STATE-PRESSURE-RESPONSE)
Sumber: Dimodifikasi dari OECD (2003)

Dalam evaluasi ini respon dari pemerintah merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah banjir. Selanjutnya respon ini akan menjadi pressure/tekanan baru yang memberikan dampak dari kebijakan yang dilakukan sehingga dapat dilakukan penilaian keberhasilan program yang selanjutnya dapat menjadi masukan untuk perbaikan kebijakan/respon dengan demikian telah terjadi siklus State-Pressure-Respon.

PEMBAHASAN
Kebijakan yang dievaluasi adalah kebijakan yang dilakasanakan dari pertengahan tahun 2009. Sehingga dapat dilihat dampak kebijakan pada tahun 2010 hingga pertengahan 2011. Adapun State-Pressure-Respon awal yang dapat disusun adalah sebagai berikut: