Kemudian aku sampai di depan rumah sahabat lama ku itu. Aku ucapkan salam dan ku ketok pintunya dengan bermaksud orang di dalamnya mengetahui kalau ada tamu yang menanti di depan rumahnya. "Assalamualaikum" salam ku ucapakan. "Walaikumsalam" terdengar suara lelaki dari dalam rumah yang tak asing lagi bagiku. Beberapa saat kemudian pintu pun dibuka dan alangkah kaget dan senangnya raut wajah yang tampak dari wajah temanku ini yang begitu bersihnya. Begitupun juga dengan aku, sungguh merasa senang sekali melihat sahabatku yang 7 tahun tidak pernah berjumpa setelah kami berdua dinyatakan lulus dari kampus kami mengemban ilmu. Dialah Hasan yang selalu terpancar senyum dari wajahnya. Orang pertama yang aku kenal ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus dulu. Dan sejak itu kami memulai persahabatan kami. Hal yang paling aku suka bersahabat dengannya adalah karena dia adalah seorang yang sangat taat beragama yang tak bosan-bosannya selalu mengajarkan aku ilmu-ilmu baru tentang agama serta mengingatkan aku ketika aku lalai. Sejak dia lulus SMA dia sudah menghafal 20 juz Al Quran dan pada tahun kedua kuliah dia menghatamkan hafalannya hingga 30 juz. Berbeda dengan aku saat itu 1 juz 30 sekalipun aku tidak menghafalnya. Alhamdulillah berkat dukungan dan bimbingannya kini aku sudah bisa menghafal 30 juz sperti dirinya.
"Subhanalloh, sahabatku wahai Firman, sibuk apa kamu sekarang? Sudah lama kita tidak saling memberi kabar sejak kamu melanjutkan studi kamu ke Mesir disana.", tanya hasan dengan antusiasnya.
"Alhamdulillah saya sekarang menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya, setelah selesai studi saya langsung kembali ke kota kelahiran saya dan menularkan ilmu yang saya dapat ke para penerus pejuang agama ALLOH."
"Alhamdulillah sungguh mulia usahamu, semoga selalu dalam pertolongan ALLOH"
"Aamiin", jawabku.
"Aamiin", jawabku.
"Astaghfirulloh, aku lupa menyilahkan kamu masuk dan duduk.", saking senangnya melepas rasa rindu seorang sahabat yang sudah lama tak bertemu membuat Hasan lupa untuk mempersilahkan aku masuk kedalam rumahnya.
"Ayo silahkan duduk!", Hasan pun mempersilhakan aku duduk di sebuah ruang tamu yang sederhana berhiaskan pigura dengan kaligrafi ayat Kursi di dindingnya.
"Ya seperti inilah rumah seorang ustadz di kampung." Sejak dahulu Hasan tidak pernah berubah, selalu tampil dengan sederhana tak pernah menunjukkan sesuatu yang materi yang membuat orang lain iri. Padahal belakangan aku tahu bahwa Hasan ini adalah anak seorang Kyai pemilik pesantren besar yang cukup ternama di kota asalnya. Namun begitulah Hasan selalu tampil apa adanya. Mungkin yang membuat orang lain iri dan termasuk aku juga adalah kemurahan senyumnya, ilmu agamanya, serta kepeduliannya terhadap orang lain yang tak pernah kutemui di dalam diri selain Hasan.
"Ummi, tolong buatkan minum untuk tamu abi!", suruh Hasan terhadap seorang perempuan yang ada di dalam rumah.
"Iya abi." terdengar suara balasan yang begitu indah dari dalam rumah.
Sambil menunggu minum yang disuguhkan kami pun saling mengobrol mengingat masa lalu serta menceritakan kehidupan kami masing-masing saat ini. Dari obrolan ini pun aku tahu bahwa saat ini Hasan adalah pemilik sekaligus pengajar madrasah yang ada di kampun ini. Dan yang membuat aku sekali lagi bangga dan iri dengannya adalah setiap santri yang mengeyam pendidikan di madrasah yang dia dirikan tidak dipungut biaya sepeserpun.
“Ini abi”, datang seorang perempuan